Jumaat, Disember 31, 2010

Akhir tahun masihi 2010

Alhamdulillah, tiba pada penghujung tahun masihi 2010. Saya sudah menerima - percuma - dua diari / planner dah sudah pun menanda jadual untuk Januari yang padat. Kedua-duanya berwarna merah.

Dan 2010 menyimpulkan seluruh ketakutan saya kepada semalam, kepada kenangan. Ketakutan yang menjadikan saya takut berhadapan hari esok. Saya sendirilah yang menjadikan diri ini seorang yang penakut!

Semoga lembaran 2011 menghanyutkan semua ketakutan itu, membawa diri ke perjalanan yang lebih memaknakan.

Selamat tahun baru kepada kalian yang singgah dan hinggap di blog ini.

Selasa, Disember 28, 2010

Jangan berhenti mencari

Hari ini dua kali blog Kisah Seribu Teladan di tujah oleh kesahihan fakta dan kebenaran. Saya tidak mahu mendebatkan soalan mereka, tidak mahu terlibat dalam soal-jawab yang  yang nampaknya berunsur provokasi. Malah saya tidak malu mengatakan yang saya tidak tahu apa yang harus saya perkatakan dan tidak tahu untuk memperdebatkan apa. Apa yang saya ada, apa yang saya tuliskan ada kalanya berunsur perkongsian dan pendapat yang bertujuan mengeluarkan persoalan dari dalam diri.

Lalu saya memilih untuk menasihati mereka, kerana anak-anak muda ini nampaknya cepat sahaja panas untuk melompat sebelum memenuhkan ilmu di dada. Nasihat saya:
Kebenaran hanya akan diperolehi oleh mereka yang mencari. Dalam pencarian itu kita akan menemui pelbagai pertelagahan, perdebatan yang mengelirukan dan mendukacitakan. Tetapi jangan kita sesekali putus asa meneroka ruang ilmu. Sentiasalah membuka hati untuk menerima apa-apa pandangan kerana ia lebih mencambahkan minda kita terhadap ilmu. Maksudnya, kalau kita tak faham, lebihkan bertanya dan mencari. InsyaAllah, kita akan dapat jawapan, bukan dengan mempertikaikan mengapa dan kenapa sebelum tiba masanya.
Jalan masih panjang untuk mencari ilmu. Janganlah taksub kepada satu dua pandangan atau satu dua pegangan sehingga menidakkan yang lain. 
Jangan berhenti mencari. Selamat menggali ilmu!

Jumaat, Disember 24, 2010

Buku: Bumi Manusia - 3

Selesai.

Ada bahagian yang membuatkan saya termenung panjang. Pram sangat berani dalam kata-katanya, sangat kuat kritik sosialnya terhadap budaya Jawa. Kemudian saya merenung nasib Interlok dan melihat sejarah panjang  To Kill A Mockingbird.

Senaskhah buku yang tidak seberapa harganya kadang-kala bernilai darah dan airmata.

Rabu, Disember 22, 2010

Sunni Syiah

Muka hadapan akhbar Utusan Malaysia bertarikh 12 Disember 2010 ini begitu memukau. Sehingga kini polemik dan pandangan mengenainya sering menimbulkan emosi. Walaupun begitu, ia menimbulkan keindahan dalam menghujahkan pendapat dan buah fikir walaupun ada yang cuba menangguk di air keruh dengan pandangan dangkal berbaur politik dan berat sebelah.


Lantas saya teringat kepada senaskhah buku pemberian guru saya. Saya teringat-ingat ia masih di rak. Teringat-ingat pesanannya kepada saya.

Hari itu, satu hari dalam tahun ini, saya menempuh jalan yang amat sesak akibat kemalangan. Sepuluh kilometer mengambil masa lebih dari setengah jam. Dan saya amat kesal menyebabkan guru saya ternanti-nanti. Pertemuan itu cuma sebentar, hanya untuk mengemaskini perkembangan diri dan menghadiahkan novel sendiri yang sudah lama tersimpan. Namun pertemuan yang sebentar itulah yang membuka banyak perkara akan sis-sis yang tidak saya ketahui akan susuk tubuh guru saya ini.

Dia memberikan saya buku ini.

Tergamam seketika saya melihatnya judulnya.

"Buku ini diharamkan di Malaysia," katanya. Dan seingat saya dia menambah yang buku itu dibawa masuk dari negara jiran. Sama ada dia membelinya atau pemberian para teman tidak mahu pula saya bertanya.

"Baca dan buatlah sesuatu dari buku itu," sambungnya lagi. Saya membelek buku ini depan belakang. Setelah keluar dari biliknya, saya teringat sesuatu lalu menghantar pesanan ringkas.

"Saya beri sebagai hadiah."

Saya lupa ayat selepas itu dan tatkala membaca beberapa helaian hadapan sudah mendatangkan perasaan teruja untuk menghayatinya selepas itu. Tetapi ia sekadar menghuni rak buku yang semakin penuh. Namun dengan keadaan penuh gelora akan isu pertentangan terhadap kelompok Sunni dan Syiah, saya mencari masa untuk menghayatinya.

Kalaupun buku ini diharamkan di Malaysia, apakah haram juga untuk memilikinya bagi mencambahkan bidang ilmu?

Ahad, Disember 19, 2010

Buku: Bumi Manusia - 2

Nota kecil dari Facebook: 

 

Bumi Manusia menyedarkanku, bahawa sebab musabab Afrika Selatan menjadi pilihan Belanda untuk membuang banyak pejuang dan penentang penjajahan di Indonesia adalah kerana negara itu juga antara negara yang mereka dijajah, khususnya Cape Town. Sekaligus mewujudkan komuniti Melayu (Cape Malays) disana. 

 

Lalu saya terfikir yang asal muasal Cape Malays adalah dari Indonesia, bukan Malaysia. Ada pandangan? 

 

Jawapan dari saudara Muhammad Jailani, kenalan dari Singapura yang kini sedang menuntut di Universiti Malaya: 

 

Saya fikir, usah terlalu menyempitkan takrifan Melayu itu sendiri. Bangsa Melayu adalah sebuah bangsa yang melampaui batas politik. Jelasnya, Indonesia dan Malaysia itu sendiri merupakan entiti politik. Sebelum 1928 dan 1957 tiada istilah Malaysia mahupun Indonesia. Pastinya juga, Cape Malays juga bertapak di sana jauh sebelum tahun-tahun yang disebutkan di atas. Atas dasar itu, tidak wajar untuk kita katakan mereka itu asal Indonesia atau Malaysia kerana kedua-duanya belum wujud pada waktu tersebut. 

 

Saya bersetuju dengan pandangan ini. Oleh kerana nusanrata Melayu sudah dibelah oleh semangat nasionalisme dan negara bangsa, maka wujudlah Malaysia dan Indonesia. Dan mana Cape Malays itupun sebenanrya merujuk kepada rumpun Melayu, bukannya warga Malaysia. Maka, janganlah kita sangka Cape Malays adalah warga Malaysia SAHAJA. Ayat yang sepatutnya ialah rumpun MELAYU.

 

Dan bagi menambah kefahaman akan letak duduknya isu ini, saya pun rajin mengGoogle dan beberapa pautan berikut boleh membantu menambah ilmu didada. Cuma...

Belanda Impor Budak Indonesia ke Afsel

museum nelson mandela 300x211 Belanda Impor Budak Indonesia ke Afsel
Museum Nelson Mandela/ FOto: scanshop.co.za

Dapunta Online – PENGUNJUNG MUSEUM Nelson Mandela bisa menyaksikan tayangan audio visual mengenai sejarah Afrika Selatan (Afsel) beberapa abad yang lalu. Dalam tayangan tersebut disebut-sebut nama Madagaskar dan Indonesia sebagai “pengimpor” budak ke Afrika Selatan yang dibawa para penjajah Belanda (Belanda). Ketika itu, orang-orang Belanda menjadi penguasa di Afrika Selatan, sebelum akhirnya dikalahkan Inggris pada perang Boer.

Anehnya, sebagian besar orang asli Afrika Selatan tidak mengenal Indonesia. Ketika ditanya, apakah Anda tahu Indonesia? Jawaban mereka beragam, “Malaysia?” atau “Cina”, bahkan ada yang mengatakan “Bali”. “Indonesia memang harus bekerja keras untuk memperkenalkan diri. Malaysia lebih dikenal di sana dibandingkan dengan Indonesia. Bahkan, Cape Malay sudah ‘diklaim’ oleh Malaysia. Padahal, tempat tersebut sangat erat kaitannya dengan sejarah Indonesia di Afrika Selatan,” kata Ali Hasan, Wakil Direktur Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC).

Cape of Good Hope adalah tempat pertama kalinya para budak asal Jawa dan Madagaskar mendarat di Afrika Selatan pada sekitar tahun 1652. Para budak tersebut kemudian dinamai etnis Cape Malay. Namun, karena namanya Malay, maka orang-orang Afrika Selatan lebih mengenal Malaysia dibandingkan dengan Indonesia.

Datangnya para budak dari Indonesia disusul dengan pengasingan Syech Yusuf dari Makassar di Cape Town pada 1694 oleh Belanda semakin meneguhkan posisi Indonesia dalam sejarah Afrika Selatan. Bahkan, Syeh Yusuf, ulama muda dan juga pemimpin tentara Kesultanan Banten, juga merupakan penyebar agama Islam pertama di bagian selatan benua hitam ini. Selain Syeh Yusuf, sebenarnya ada nama lain seperti Abdullah Ibn Qadi Abdussalam asal Tidore.

Belanda sangat khawatir dengan perkembangan Islam di Cape Town, kemudian memindahkan dan mengisolasi Syeh Yusuf ke Zandvliet, di luar Cape Town. Namun, upaya Belanda tersebut gagal dan Islam tetap berkembang pesat di Cape Town.

Kesadaran sebagai orang asal Indonesia sudah dirasakan oleh beberapa orang Afrika Selatan terutama para Muslim. Bahkan, mereka langsung menyatakan mereka juga keturunan Indonesia khususnya Banten. Salah seorangnya adalah Ibrahim Salleh, Kepala Sekolah Muslim Bosmont.

Ibrahim mengakui, memang sebelumnya ada “kesalahpahaman” tentang Malay. Menurut Ibrahim, asumsi orang selama ini Malay sama dengan Malaysia, dan mereka juga diidentikan dengan keturunan Malaysia. “Namun, kami sudah tahu anggapan itu salah,” ujarnya.

Ibrahim sendiri tidak mengetahui bagaimana nama tempat tersebut kemudian disebut Cape Malay. “Mungkin karena berasal dari daerah atau kawasan orang-orang Melayu kemudian dinamakan Malay. Sebenarnya pula, para budak tersebut bukan berasal dari etnis Melayu. Para budak disebutkan didatangkan dari Jawa, sedangkan Syeh Yusuf orang Makassar,” ujarnya.

Cape Malay yang sekarang ini juga disebut Cape Muslim, sudah menjadi etnis tersendiri di Afrika Selatan. Pada masa apartheid, etnis Cape Malay masuk dalam golongan kulit berwarna (colored), kastanya lebih tinggi dibandingkan dengan kulit hitam, tetapi di bawah kulit putih.

Populasi etnis Cape Malay sekarang ini sekitar 166 ribu di Cape Town dan sekitar 10.000 di Johannesburg. Orang-orang Cape Malay juga penentang apartheid, salah seorang pimpinannya adalah Farid Esack.

Karena “kesalahpahaman” kemudian “klaim” Malaysia, Indonesia harus berjuang untuk memperkenalkan diri. “Mengubah persepsi orang sangat sulit, tetapi kami akan terus memperkenalkan Indonesia di Afrika Selatan. Indonesia merupakan bagian dari sejarah Afrika Selatan,” ujar Ali Hasan. [*]  PR/DPT

Sumber disini

 

Kan! Dah cakap dah!

 

Lain-lain pautan:

  1. Satu

  2. Dua



 

Buku: Bumi Manusia - 1

Saya sedang membaca Bumi Manusia. Barulah saya tahu kenapa karya Pramoedya Ananta Toer sering disebut orang. Dan tidak pernah saya membaca sebegini laju bagi segera menamatkannya, sering teringat-ingat malah ada watak-wataknya yang menyerap masuk ke dalam diri. Juga sentiasa pula menggaris bawah kata-kata menarik dan mengGoogle fakta yang memerlukan pemahaman selanjutnya.

Saya berjanji kepada diri sendiri bagi menamatkan tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langka & Rumah Kaca) menjelang Februari 2011.

Sepatah kata dari Bumi Manusia yang sangat saya gemari, hingga saya jadikan ia tanda pengenalan untuk wajah baru blog ini:
Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya 

Khamis, Disember 09, 2010

Buku: Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2

Mungkin ada yang menganggap saya poyo - bahasa anak-anak muda- tatkala mahu membicarakan novel Ketika Cinta Bertasbih. Seperti filemnya yang meletup dipawagam tetapi tidak dibawa masuk ke anah air, KCB yang dihasilkan dalam dua jilid ternyata sangat segar dan sihat. Kemas bahasanya dan sopan akhlak pelakunya.Namun ada nada berhati-hati dalam susun katanya. Mungkin sahaja kerana plot banyak bermain di tanah Solo / Surakarta, maka memasukkan budaya dan adat Jawa nampaknya dilakukan berhati-hati oleh Kang Abik.

Saya menonton filemnya dahulu sebelum membaca novelnya. Berikut adalah status yang saya tuliskan di laman Facebook sebagai ulasan spontan selepas habis menonton siri 1 dan 2.

Apa lagi yang harus saya tulis tentang novel ini?


(Entri akan disambung)

Tiga situasi

1) Bicara tentang hujan, siapakah tidak gemar? Dingin menyapa tubuh, cuaca yang tidak gelap dan tidak siang, angin berhembus kuat-perlahan sambil sesekali merembes hujan ke muka, pohon melambai-lambai di tiup kencang sang angin, dan apakah lagi?

Perkara sinonim dengan hujan seperti yang dimaklumi umat manusia ialah tidur tetapi saya tidak sedikti pun teruja menikmatinya. Hujan adalah waktu dimana saya bersegera ke tingkap, membukanya seluas yang boleh, memerhati hujan jatuh dari cucur atap lalu menimpa bumi, melihat air mengalir ke longkang, melewati ke parit lalu membawa ke sungai, melihat sampah yang dibawanya sekali, melihat pokok yang meliang liuk dipukul angin, memerhati langit yang gelap, awan yang diliputi hujan. Pernah dahulu saya cuba mengira titis hujan yang jatuh ke tanah namun cepat sahaja disapu air yang deras mengalir.



2) Saya gemarkan pokok, melihat hijau daun, memerhati burung yang berterbangan lalu hinggap di pucuknya. Dahulu saya sering meluangkan masa berada di hutan rekreasi mengikuti aktivti perkhemahan, kembara, ekspedisi atau apa sahaja bersama teman sepersatuan. Bila sudah bekerja, kadang kala ada waktu-waktu tertentu bila lelah melihat hutan batu, saya ke mana-mana taman-taman atau hutan lipur yang berdekatan. Melihat hijau dedaunan pada pepohon tua yang melambai tinggi seakan terapi untuk membuang hiruk pikuk dunia kerja yang mendera diri. Hutan hijau itu adalah ubat menmbuang lelah dan resah diri. Saya merasa amat nikmat dan nyaman berteduh dibawahnya, membaca buku yang berada ditangan sambil mencium aroma yang keluar dari kelopak bunganya. Datangnya saya dari kawasan di kelilingi hutan, dimana pokok pelbagai jenis mengakrabi diri lekas menjadikan saya tidak betah berlama-lamaan di kawasan yang tidak punya pohon.


3) Ketika di Hatyai, kami ditempatkan di lantai dua puluh lima, satu tingkat sebelum ke paras tertinggi. Dari cermin kaca yang melebar, saya memerhati wajah Hatyai yang suram dan kusam kerana baharu sahaja kebah dari ditimpa bah besar yang melumpuhkan bandar ini. Tiada lain bangunan setinggi hotel ini maka pemandangan saya sungguh tidak terbatas, melampaui segala jenis bangunan rumah kedai, hotel, kediaman, restoran dan seribu satu binaan lain. Nun di hujung sana terdapat semacam bukit yang tidak begitu tinggi yang seolah menjadi titik akhir penglihatan. Kota ini nampak kecil tetapi padat dan terasak-asak. Jalannya kecil, kenderaan yang melewatinya berjalan merangkak-rangkak. Wayar elektrik dan telefon saling berselirat sambung menyambung memberi satu pemandangan yang menakutkan. Tiap kali melihat Hatyai dari aras dua puluh lima, saya mencari-cari dimanakah pokok yang boleh saya jadikan terapi mata.

Tiada.


Lebih lama saya di tempat seperti ini, pasti tidak kan lama saya bertahan. Mujur sahaja datang untuk liburan, kalau tidak lekas-lekas saya cari tempat lain untuk membuang resah.

Rice Without Rain

Minggu lepas, saya berbual dengan Ali Bukhari Amir, seorang anak muda yang sangat kritis dan idealis. Saya gelarnya pemikir kerana saban waktu pasti ada sahaja perkara yang difikirkan, yang bersiponggang dalam cepu kepalanya. Lihat sahajalah entri pada blognya juga pada setiap status Facebook, setiap satunya bukanlah berkisar mahu makan apa hari ini atau penatnya bekerja hari ini. Kata-kata yang diletakkan adalah berunsur pemikiran, pemahaman, pencernaan ilmu dan pengalian maklumat. Pautan serta klip video bukanlah calang-calang, yang bukan diada-adakan tetapi memohon kerjasama dari semua penagih Facebook untuk sama-sama berkongsi pemahaman dengannya.

Kami berbual ringkas sambil menanti. Saya teringat kepada sebuah buku yang diterjemahnya, Rice Without Rain yang disiarkan secara bersiri dalam akhbar Harakah. Saya anggap ia adalah terjemahan secara underground, bermakna diterjemah sendiri tanpa niat untuk diterbitkan oleh mana-mana syarikat penerbitan atau dibukukan walaupun secara peribadi.

Saya sempat mengikuti siri pertama terjemahan dan tidak lagi mengikutinya selepas itu kerana saya bukanlah pelanggan tetap Harakah dan tidak suka terikat dengan sesuatu yang bersiri. Sangat bagus kata-katanya, indah bunga bahasa dan cantik susun atur kata. Ini bermakna karya asalnya juga  bagus, indah dan cantik.

Ali menceritakan asal usul buku tersebut dan terjemahan yang dilakukannya. Menurutnya, "saya mendapat keizinan menterjemah secara langsung dari penulisnya ketika berkomunikasi dengannya."

Teirngat pula saya sedang mengusahakan sebuah buku terjemahan.

"Bagaimana dengan hakcipta?"

"Saya tidak rasa mahu menerbitkan buku ini, sekadar menterjemah secara suka-suka dalam Harakah," balas Ali. Sesuatu yang saya pasti mengapa dia menterjemah Rice Without Rain ialah kerana tema perjuangan dalam novel nipis ini yang sangat memikat, maka Ali menjadi sebati dengannya.

"Ia berkisar kepada perjuangan petani di Thailand yang ditindas oleh tuan tanah. Ketika itu tahun 70-an, zaman dimana para mahasiswa masuk ke kampung bagi membantu menyedarkan para petani supaya mereka bangkit melawan dan bersatu terhadap kezaliman dan kemiskinan yang menyelimuti mereka."


Ali berbicara panjang lebar tentang novel ini. Lantas saya teringat kepada perjuangan mahasiswa tanah air pada zaman 70-an, zaman yang seluruh dunia gelar sebagai zaman the angry young man. Ia adalah waktu-waktu apabila demonstrasi, kemarahan, ketidakpuasan, kedegilan, keadilan menjadi makanan mahasiswa. Meneliti perjuangan mereka, tidak akan hilang rasa ghairah dan teruja untuk turun sama ke jalanan sekiranya masih ada peluang untuk berbuat lagi pada waktu-waktu sekarang ini. Mujurlah sahaja keinginan itu tercapai ketika puncak Reformasi tahun 1998-1999 yang memberi saya peluang berada di Jalan Tunku Abdul Rahman menyaksi sendiri alunan laungan dan jerit pekik memohon supaya keadilan ditegakkan dan kebatilan dinyahkan.

Itu cerita dahulu, ketika memuncaknya demonstrasi dan reformasi.

Ali membawa saya kembali ke alam nyata. Penulis buku ini, Minfong Ho yang berdarah Thailand-Cina menulis berdasarkan pengalaman sendiri yang difiksyenkan. Kisah mahasiswa masuk kampung ini lebih kurang sama dengan perjuangan para mahasiswa di Baling yang tegar denga isu kebuluran, Hamid Tuah yang meneroka tanah di Klang dan sekumpulan mahasiswa lagi di Johor. Mereka inilah bersatu menggerakkan demonstrasi sehingga menyebabkan kerajaan takut dan kecut lalu mencipta AUKU, akta purba yang terus menghukum, memancung dan menggari perjuangan mahasiswa sehingga menjadi lesu dan kaku kala.

Ketika Ali berbicara tentang Rice Without Rain, fikiran saya melayang-layang ke zaman demonstrasi dan reformasi. Entah apa yang dibicarakan dengan panjang lebar, saya mengelamun dengan diri sendiri. Mana bisa masa boleh di ulang kembali. Itu detik manis perjuangan dan terlipat kemas dalam sejarah. Sampai keakhirnya Ali bercerita, saya masih memutar kenangan silam sehingga gagal menagkap kemas bicara Ali.

Dan ia nyata terbalas apabila minggu selepas itu saya menemui naskhah asli Rice Without Rain disebuah kedai barang terpakai. Bagai orang mengantuk disorongka bantal, saya segera menyambar. Dan janji kepada diri sendiri ialah menghadamnya secepat mungkin bagi membalas bicara Ali yang tidak saya endahkan saat mengelamun di Rumah Pena.

Isnin, Disember 06, 2010

Hijrah dan ulang tahun ke-5 (opss 6!)

Blog ini sudah berusia lima enam tahun tatkala saya lahirkannya pada satu Muharam 1427. Betapa cepatnya masa berlalu, betapa jauhnya jarak perjalanan sepanjang lima enam tahun itu. Ia telah melahirkan apa yang saya ada kini. Perubahan perlahan-lahan dapat dilihat pada gaya tulisan, idea (kalau ada), topik dan tema. Perubahan yang boleh dikatakan langkah-langkah ke arah kedewasaan, menuju kematangan, mengorak keupayaan merentasi jalur kehidupan.

Salam ma'al Hijrah 1432 kepada semua pengikut blog, pembaca senyap, teman yang selalu singgah, pengunjung yang tersesat, pengkritik yang sudi menurunkan komen dan sesiapa sahaja yang sudi mampir.

Rabu, Disember 01, 2010

Ke Hatyai 1

Syukurlah saya dikurniakan kesempatan menjejaki Hatyai, sebuah wilayah kecil di tanah selatan Siam. Sebelas tahun lalu - saya masih ingat lagi - berpeluang menjejaki Hatyai, Songkhla juga Satun dalam satu aktiviti yang dianjurkan oleh pihak universiti bersama lapan belas teman. Ketiga-tiga tempat ini menjadi lokasi persinggahan dalam ekspedisi kami di lautan yang bermula dari Satun, mengelilingi kepulauan Langkawi dan berakhir di Kuala Perlis.

Itu cerita dahulu.

Di Padang Besar ketika menanti pasport di cop dan proses pertukaran kepala gerabak. Masa terluang tidak boleh di siakan. Idea datang, ilham mencanak keluar, tangan laju menulis, jari rancak menaip, foto pun di rakam. Inilah kombinasinya

Hujung minggu lalu saya berpeluang ke Hatyai dengan berkeretapi dari KL Sentral bersama rombongan guru-guru dari sebuah daerah di Selangor. Bertolak dari KL Sentral Jumaat (sebelah malam) dan tiba Isnin di KL Sentral (awal pagi) langsung terus ke pejabat. Perjalanan selama empat belas jam, ya 14 jam itu cukup panjang tetapi beberapa acara yang disediakan oleh pihak penganjur tdak menampakkan ia suatu kebosanan. Namun, acara berkaraoke sepanjang perjalanan itu sendiri sudah nampak unsur-unsur tidak serasi dengan saya. Sekejap melayan bolehlah, kalau berterusan menyakitkan telinga sahaja. Saya tidak menghalang atau menegah, tetapi seperti biasa, jika tidak suka saya lebih senang melarikan diri dari bertekak tidak tentu pasal.

Bersama dua teman lain, kami berjalan-jalan sekitar keretapi dari hujung ke hujung gerabak, membuka pintu lalu mengambil udara segar, bergambar di setiap perhentian dan kemudian berhenti di kantin. Lebih senang berbual bicara disini, mencambahkan ilmu dan berkongsi emosi sambil masing-masing dengan buku, pena, komputer bimbit, telefon dan perakam audio menangkap setiap inti perbincangan dan mengecapnya dengan penuh nikmat.
KL Sentral. Tetap membaca sambil menanti

Sewaktu menerima jadual perjalanan, saya sendiri sudah menyangka mengambil masa yang lama. Lalu saya menetapkan buku yang dibawa haruslah tidak berat temanya dan mudah dibawa. Tiga buku inilah yang menjadi teman setiap waktu sepanjang perjalanan disamping buku nota yang sentisa merakam isi hati dan fikiran sewaktu melewati perjalanan yang mengasyikkan.

Saya kira, inilah percutian yang bermanfaat, mengenalkan saya kepada insan yang selama ini saya kenali dari jauh. Kedua-duanya dengan karektar, lalu kami seolah-olah membentuk satu kombinasi menarik dan hebat sehinggakan kelibat kami bertiga menjadi satu igauan dan trauma kepada para rombongan. Bila ada masa terluang, ada sahaja soalan saya tanyakan, sambil seorang lagi menangkap gambar secara curi untuk santapan mata kemudiannya. Perbualan-perbualan inilah yang mencerahkah lalu menimbulkan perasaan gerun kepada ahli rombongan - tiga manusia pelik dengan profil berbeza seolah tersilap masuk ke dalam rombongan walaupun tidak buat kacau.

Ali berdoa semoga Tuan Malim Ghozali PK datang ke gerabak untuk dia bertanya banyak soalan, nyata permintaannya segera di makbul tuhan. Dia bertanya soalan, meletak perakam audio di sebelah, saya menaip status perjalanan dan Bayan dengan kamera seperti biasa.

Paling mengejutkan, satu soalan yang singgah di telinga saya dalam perjalanan pulang. Saya sedang membelek sebuah buku yang baru di beli dari Hatyai - satu-satunya buku yang boleh dibeli dan di baca - ditanyakan satu soalan, "boleh tak berhenti membaca sekejap?" 

Saya terdiam memandangnya yang duduk bertentangan saya disebabkan oleh kedudukan kerusi yang saling berhadapan. Saya terdiam mendengar soalan pelik ini lalu menghulurkan buku ditangan kepadanya yang meminta izin melihat. Dia membelek dari kulit ke kulit, sebuah buku nipis memaparkan kisah dari sebuah filem berjudul Iraq.

"Saya ni kalau rajin membaca, sudah jadi pensyarah sekarang." Dia menyambung sambil ketawa. Entah kepada diri sendiri atau kepada saya, tetapi saya diam juga lalu senyum. Satu senyuman sinis kepadanya. Dalam hati saya beristighfar. Inikah rupa para guru kita yang dalam mendidik anak bangsa pun masih membelakangkan sesuatu yang sepatutnya menjadi keharusan? Saya tiada jawapan untuk itu. 

Keretapi mendesah laju membelah malam yang semakin gelap. Masih berbaki sepuluh jam perjalanan untuk mereka tidur, makan, termenung dan berbual sepuasnya. Itulah makna cuti bagi mereka.



Nota: Kredit semua gambar kepada Bayan yang suka dengan kamera, persepsi sebuah foto pada matanya sangat mencerahkan. Ada sahaja yang menarik di jadikan memori.



Selasa, November 23, 2010

Segugus Doa Buat Bonda

Hari ini Selasa, 23 November 2010. Sudah masuk tiga belas hari emak berada di hospital. Saban hari mengunjunginya di sana, dia mengalirkan airmata dan mengajak pulang ke rumah. Rimas duduk diam dan baring di katil tanpa sebarang kerja. Katil di kiri, kanan dan hadapan silih berganti pesakit tetapi dia tetap di situ tanpa sebarang perubahan. Apa yang menggelisahkan ialah tiada satu wayar pun di cucuk di badan, doktor datang setiap jam memeriksa darah tetapi hasilnya tetap begitu. Darah emak masih belum mencapai tahap normal. Tahap dua kata doktor dan masih mencair. Tahap kecairan yang membahayakan.

Asalnya ada darah beku dalam paru-paru emak, yang dikhuatiri boleh menyebabkan strok sekiranya darah beku ini merayap sehingga ke otak. Ia tersangkut di paru-paru menyebabkan emak sesak nafas. Dari Hospital Jempol, emak dihantar ke Hospital Kuala Pilah, kemudian ke Hospital Seremban untuk imbasan badan dan kembali ke Hospital Kuala Pilah sejak 11 November. Lima hari pertama di CCU untuk doktor mencairkan keseluruhan darah kemudian dipindahkan ke wad biasa bagi memekatkan semula darahnya. Tetapi paras darah emak turun naik - sekejap bacaannya 1.17, kemudian 1.3 turun 1.0 dan tiba-tiba semalam tiada bacaan. Hairan pun ada juga. Doktor tidak membenarkan emak keluar atau pindah hospital, dibimbangi keadaannya nanti memburuk. Maka bertambah-tambah rimas emak di hospital. Tidur malamnya pun sudah meracau-racau, sambil mimpi bertemu arwah nenek yang meninggal tanggal lima Ramadhan lalu. Makanan hospital pun enggan di jamah kerana mogok mahu pulang. Cakapnya pun sering mengundang airmata. Apa ayat lagi yang harus di ucapkan untuk memujuk emak supaya kekal dan sabar di hospital?

Sejak dari hari pertama, kami mengunjungi emak bagi menemankannya ketika waktu lawatan, supaya terbunuh kesepiannya seketika. Tetapi bila kami pulang, hanya jururawat dan doktor yang menjadi kawan. Maka bertambah-tambahlah hiba hatinya.

AidilAdha yang lalu adalah yang pertama kali tanpa emak disisi. Malah hari jadi emak pada esoknya pun kami sambut dengan sebiji kek di katil hospital. Keadaan masih begitu juga dan emak tetapi mengira hari keberadaannya di hospital sambil tidak putus bertanya perkembangan darahnya kepada doktor. Tiada apa yang boleh kami lakukan kecuali berdoa, kerana ia adalah senjata kekuatan untuk kami saat di duga sebegini. Tambahan pula kami tahu ini dugaan kecil sahaja berbanding orang lain, tetapi yang kecil inilah yang banyak menggugah semangat dan kesabaran.


Ya Allah,, kau sembuhkanlah penyakit emakku, kembalikanlah darahnya ke paras normal supaya dia boleh pulang segera ke rumah dalam keadaan sihat. Seandainya dia perlu tinggal lebih lama di hospital, maka Kau tetapkanlah hatinya untuk lebih sabar dan tabah. Kami sekeluarga tidak tahu apa yang harus kami lakukan selain berdoa kepadaMu, maka Kau bantulah kami Ya Allah.


Amin.

Sabtu, November 13, 2010

Merapi

Gunung Merapi dalam keadaan 'tidur'

Terima kasih kepada Majalah 3 malam ini. Liputan satu jam khusus tentang Merapi yang meletus amat mencerahkan. Secara jujur, saya hanya mendengar berita dari radio dan membaca di dada akhbar tentang letusan Merapi tetapi tidak membayangkan betapa teruk kesan dan akibat 'marahnya' gunung yang satu ini. Tonton berita di kaca tv? Minta maaflah, daripada mengundang sakit hati dan marah-marah, lebih baik tutup. Sudah lama tidak tonton berita di tv, atau kalau buka kaca tv pun, tonton selepas jam 8.30 malam.

Perhatikan asap dan debu yang di letuskan. Subhanallah

Jadi, liputan Merapi kali ini amat menyeluruh. Bagaimana wartawan yang terkejut mendengar letusan ketika menghampiri Merapi kemudian berlari-lari ke kereta menyelamatkan diri, debu memenuhi ruang udara dan menyelimuti hampir apa sahaja yang ada, haiwan bergelimpangan dan manusia kaku tidak bernyawa, malah ada yang melecur dan hangus terbakar, pusat pengungsian penuh dan sesak, ratusan mayat tidak dikenali berbungkus dalam plastik lalu di kebumikan dalam satu liang.

Nah, apa lagi yang harus dibicarakan tentang merapi kecuali trauma, ketakutkan, keinsafan, doa, kematian, kelaparan, kerugian dan kehancuran. Rumah sudah pasti tidak serupa dulu. kalau boleh di duduki lagi, entahkan sama dengan yang lama atau tidak pun entahlah. Dan seandainya Merapi diam, entah kan bila dia akan marah lagi kita pun tidak pasti. Diam sebentar atau diam selamanya. Maka memulakan hidup selepas itu pun bagaikan satu teka-teki.

Gunung Merapi dari Candi Borobudur

Banjir di tanah air dan Merapi di tanah seberang.
Bumi ini sudah bergoncang
Dan manusia -
Entah bilakah engkau mahu berhenti 'berperang'?


Kredit gambar khusus kepada Google Image. Google ajelah!

Rabu, Oktober 27, 2010

Duit

Saya teringat anak kecil ini. Sewaktu meredah macet di Jakarta penghujung November lalu, anak-anak kecil dalam lingkungan sembilan hingga belasan tahun bersepahan di kiri kanan jalan. Sebaik sahaj lampu trafik berwarna mera, mereka segera mengerumuni kereta. Seorang satu. Tiada yang kongsi. Mereka menyanyi. Entah lagu apa tidak kedengaran. Bagi yang baik hati, mereka membuka cermin, mendengar alunan lagu dendangan mereka dan menghulurkan syiling yang tersisa dalam kereta. Apalah sangat pada syiling berharga seratus dan dua ratus rupiah. Mungkin satu dua sen pada kita, yang kita buang dan tidak gunakan. Mereka anggap ia emas, rezeki, sepinggan nasi atau penyambung nyawa.

Wajah-wajah anak ini tiada riak gembira atau duka. sebaik lampu merah, mereka segera mengejar. Bila bertukar hijau, mereka berundur mencari tempat duduk, berehat dibawah pokok, mengira wang yang diterima atau berbual-bual dengan teman perihal pemandu yang mereka temui. Jika mereka merapati dan kita tidak terasa mahu melayan, sekadar menolak pergi dengan tangan atau menggelengkan kepala sudah memadai untuk mereka berundur dari kereta.

Mereka tidak memaksa. Mereka ikhlas. Suara mereka itulah harta yang ada. Sekadar bertepuk tangan atau menggunakan gitar kecil. Mungkin mengumpul duit membeli gitar lebih besar menjelang dewasa supaya lebih mudah mencari rezeki dilapangan dewasa.

Wajah mereka kusah, letih, kulitnya gelap tetapi mereka berusaha, bukan sekadar meminta-minta biarpun sekadar menggunakan suara.

Selasa, Oktober 26, 2010

Puisi dalam Ketika Cinta Bertasbih 2

 1)
Cinta adalah kekuatan
Yang mampu mengubah duri jadi mawar
Mengubah cuka menjadi anggur
Mengubah malang menjadi untung
Mengubah sedih menjadi riang
Mengubah setan menjadi nabi
Mengubah iblis menjadi malaikat
Mengubah sakit menjadi sihat
Mengubah bakhil menjadi dermawan
Mengubah kandang menjadi taman
Mengubah penjara menjadi istana
Mengubah amarah menjadi ramah
Mengubah musibah menjadi muhibbah
Itulah cinta

2)

Sekalipun cinta telah ku uraikan
Dan telah ku jelaskan panjang lebar
Namun jika cinta kudatangi
Akujadi malu pada keteranganku sendiri
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan
Namuntanpa lidah
Cinta ternyata lebih tenang
Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya

Kata-kata pecah berkeping-keping
Begitu sampai kepada cinta
Dalam menghuraikan cinta
Akal terbaring tak berdaya
Bagaikan keldai terbaring dalam lumpur
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan musibah

 

 

Sabtu, Oktober 23, 2010

Ulasan Buku : Sungai Mengalir Lesu

Kisah ketika perang yang jarnag diperkatakan pengarang, bagaimana penduduk kampung berlari-lari ke arah shelter menyelamat diri dari terkena bom atau di bom, kebuluran akibat kekurangan makanan sehingga memaksa mereka berkeliaran mencari apa sahaja yang boleh dimakan sehinggalah mencuri, pertukaran barang makanan dengan harga diri demi menyelamatkan perut adik beradik (pengorbanan?), kejujuran, kecurangan dan kesetiaan. Semua cerita bercampur dalam satu, berakar dari keinginan manusia menguasai manusia yang lain - perang.

Sungai Mengalir Lesu boleh dianggap gambaran perang terbaik dalam karya SN A Samad Said selain Salina dan Di Hadapan Pulau. Mengerikan, ya mengerikan, sehingga habis-habis membacanya saya merasa syukur duduk dalam sebuah negara yang sudah sedia merdeka. 


(Bagaimana rupa shelter? Sangat-sangat ingin tahu. Gambaran dalam filem perang barat tidak cukup membantu)

Budaya dan adat dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sudah tiba pada ayat akhir. Akhirnya tamat sudah pembacaan sebuah karya agung, sebuah masterpice tulisan Prof Dr Hamka. Ok, secara berterus terang ada perkara yang membuatkan saya tidak berkenan dengan novel ini. Secara ringkas - ia novel cinta yang terlalu melankolik. Tidak, saya tidak mengkritik penulisnya. Cuma karyanya yang satu ini melemaskan. Kelemahan saya ialah tidak boleh membaca karya yang terlalu melankolik, mendayu-dayu, patah harapan, berputus asa, sedih pilu. Hampir sahaja saya campak ketepi apabila mencecah separuh tetapi bukankah menghakimkan setelah tamat membacanya itu lebih baik?

Ketika membacanya fikiran saya berlari jauh. Ramai pihak mengatakan ia adalah sebuah novel Islami, sebuah karya dakwah. Teringat kepada sebuah bengkel yang dikendalikan oleh Puan Nisah Haron yang mengutarakan persoalan ini : mengapa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dikatakan novel Islami sedangkan tiada sepatahpun ayat Qu'an atau Hadis tertulis di dalamnya. Apa yang menyebabkan ia jatuh dalam kategori sedemikian? Apakah kita mengkategorikan penulisnya atau karyanya?

Boleh sahaja saya mengeluarkan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dari kategori novel Islami. Malah, saya bersetuju dengan As bahawa novel ini adalah novel budaya. Ia lebih banyak membicarakan soal budaya dan adat. Ia banyak mempersoalkan perbezaan budaya dan adat setempat biarpun mempunyai pegangan Islam yang berpaksikan Qur'an sebagai panduan. Budaya dan adat ini kemudiannya menjadi tonggak utama kehidupan, bukannya agama sehingga menyaksikan urusan perkahwinan yang boleh dilaksanakan dengan mudah menjadi sangat menyusahkan.

Terlalu banyak persoalan budaya dan adat dalam novel ini. Prof Dr Hamka nampaknya mempertikaikan institusi budaya dan adat yang  bercanggah dengan agama. Menggunakan medium penulisan, nampaknya beliau berjaya menunjukkan kelemahan dalam cara kita menghayati agama dalam budaya dan adat, sekaligus menjadikan agama itu setakuk di bawah budaya dan adat.

Hayati dan Zainuddin mungkin tidak bersatu di dunia tetapi kisah percintaan mereka membawa kita ke persoalan penting - agama atau budaya?

Sekali lagi, apakah yang dikatakan novel dakwah, novel Islami? Bagaimana kita mengkategorikannya?

Sabtu, Oktober 02, 2010

Iran - 1

Apa yang kita tahu tentang Iran? Selain di label bumi syiah, mullah, Khomeini, Shah Iran, revolusi, Tehran, nuklear, roket, apa lagi yang kita tahu? Saya sendiri tidak tahu banyak. Mahu cari di internet apatah lagi, seolah banyak fakta disekat. Mengapa? Blog guru saya, Dr Faisal Tehrani sejak akhir-akhir ini memberi banyak maklumat tentang Iran. Beliau banyak memuatkan berita juga gambar yang menarik sekaligus membuka keinginan mengetahui Iran yang sebenarnya, lalu menunjukkan ada banyak sisi lain Iran yang tidak kita ketahui. Sisi yang disembunyikan. Sisi yang di sorokkan oleh tangan-tangan ghaib.

Ada sebuah buku yang sangat bagus tulisannya sekiranya kita ingin mengetahui 'siapa' itu Iran. Di tulis oleh Dina Y. Sulaeman dalam terbitan asal di Indonesia (Penerbit Pustaka IIman) dengan judul Pelangi di Persia: Menyusuri Eksotisme Iran, ia telah di terjemah ke bahasa Melayu oleh PTS dengan judul Travelog Iran: Menyingkap Misteri Bumi Ahmedinejad.


Saya hampir terperangkap dengan kedua buah buku ini. Dek kerana gemar membeli buku Indonesia, hampir sahaja 'terbeli' Travelog Iran jika tidak kerana membelek helaian pertama yang memaparkan perincian terbitan. Memaparkan wajah dan nama Ahmedinejad pada kulit buku boleh sahaja dianggap sebagai strategi pemasaran namun secara peribadi saya tidak menggemari idea ini. Saya lebih senang dengan judul dan wajah asal. Kulit baru seperti mahu menjual Ahmedinejad, dan saya tidak langsung tertarik membelinya walaupun wajah Ahmedinejad yang redup dan tenang ini sangat memikat. Ia seolah-olah bercerita banyak tentang Ahmedinejad, bukannya Iran.

Saya baru membawa bab awal perjalanan Dina yang sudah lapan tahun menetap di Iran. Cara penceritaan Dina sangat lancar dan tersusun, ayatnya mudah dan disulami fakta yang memberi kefahaman menyeluruh tentang Iran. Dina berjaya membawa saya ke Iran, memaksa saya mencari Iran sebenar, menyebabkan saya mengimpikan menjejakkan kaki ke Iran.

Setakat ini, saya boleh menamakan Dina sebagai penulis travelog terbaik dan karya ini merupakan ciri travelog yang seharusnya diikuti oleh mana-mana penulis yang berhasrat membukukan perjalanan dari satu tempat ke satu tempat. Menulis travelog bukan sekadar menulis 'saya dari sini ke sana, makan itu minum ini', tetapi memasukkan maklumat tempatan dan perihal masyarakat yang tidak dapat ditemui pada mana-mana buku bukan dengan niat menggurui pembaca tetapi untuk memberitahu. Jika mahu disertakan gambar, biarlah ia memadai dengan fakta yang mahu di kemukakan. Biarlah ia gambar bangunan yang sukar di bayangkan dengan kata-kata, bukannya memaparkan gambar yang boleh di Googlekan di internet.

Saya baru membaca sedikit tetapi sudah teruja. Ulasan sepenuhnya akan saya muatnaik selepas selesai membaca.

Jumaat, Oktober 01, 2010

Makan, doa dan cinta (Eat Pray Love)

Tidak sukar menafsir apa yang ada dalam buku Eat Pray Love hasil karya Elizabeth Gilbert. Ketika menonton kemunculan beliau dalam Oprah secara tidak sengaja, fikiran saya sudah tertancap kepada perkataan pray dan meneka isi tulisannya. Carian di internet, ulasan buku, sekadar menambahkan tanggapan saya terhadap pencarian Liz. Apatah lagi bila setiap kali ke MPH, EPL pasti menarik perhatian. Mungkin kerana judulnya - eat - menyebabkan ada rasa ingin tahu. Tetapi bila melihat perkataan pray, saya dapat rasakan apa yang Liz mahu utarakan. Sekadar menyelak halamannya dari kulit ke kulit, maka tidak sukar saya menyimpulkan tiga perkara berkenaan buku ini - tentang perjalanan, tentang ketuhanan dan tentang cinta.


EPL merupakan catatan diri Liz dalam pencariannya terhadap tuhan dan cinta selepas perceraiannya yang memilukan lalu berhadapan pula dengan krisis keyakinan diri. Di terbitkan pada 2006, buku ini (sehingga Ogos 2010) berada dalam senarai New York Times Best Seller selama 187 minggu. Kemudian, ia diadaptasikan kepada filem dengan diterajui oleh pelakon tersohor Julia Roberts. Liz mengembara ke tiga negara selama setahun - empat bulan Itali dimana dia menemui banyak makanan menarik (makanan Itali....oh!), empat bulan lagi di India bagi mencari tuhan lalu belajar bermeditasi serta ke Bali bagi menemui seorang pawang / bomoh yang ditemuinya setahun sebelum itu. Di Bali, beliau akhirnya menemui apa yang dikatakan cinta.


Secara jujurnya saya tidak langsung tahu ia sudah difilemkan dan tidak teragak-agak memecut ke GSC Alamanda selepas meneliti waktu tayangan. Mungkin tarikan utamanya adalah Julia Roberts yang kita tahu karakter lakonannya tidak pernah menghampakan. Ya benar, dia tidak menghampakan. Perjalanan Liz ke Itali sangat menarik. Penonton dibawa menyelami makanan Itali yang pelbagai seperti pasta, spaghetti, pizza (pastikan anda tidak lapar ketika menonton), merentasi binaan lama di Rom seperti Colesseum dan belajar bahasa Itali yang berbelit. Ada tips rupanya bagaimana mahu belajar bahasa Itali dengan betul. (Kena tonton baru tahu). Pengalamannya di India tidak di ceritakan dengan teliti sedangkan disinilah Liz menemui apa yang dicari. Terasa ada kekosongan wacana (?) terutama sekali bila kenalan Indianya di paksa berkahwin dengan pemuda pilihan keluarga. Kita tidak dihidangkan kesudahan hidup pengantin baru yang dipaksa kahwin - sesuatu yang berbeza dengan Liz - untuk Liz manfaatkan erti perkahwinansebenar dalam hidup. Banyak aspek meditasi tidak di tunjukkan dengan tuntas, sebaliknya penonton didedahkan dengan hasil penemuan, bukannya proses penemuan yang telah menukar sedikit sebanyak kehidupan Liz. Jadi, apa yang di dapati daripada meditasi tidak kita ketahui. Kita hanya tahu dia berubah selepas bermeditasi. Jadi babak di India ini menjadi sedikit bosan.

Liz pernah ke Bali setahun sebelum itu dan menemui Ketut, seorang pawang yang kemudian meramalkan apa yang berlaku pada dirinya. Ketut mahukan Liz datang semula selepas setahun bagi mengajarnya bahasa Inggeris dan Ketut pula akan mengajar ilmu yang ada padanya. Liz menunaikan janjinya dan menyalin ilmu Ketut yang asalnya datang dari buku-buku lama yang diwarisi (ya, membaca itu amalan mulia). Disini Liz berkenalan dengan Wayan (lakonan Christie Hakim), seorang tukang urut dan Liz membantu Wayan mendapatkan sebuah rumah hasil sumbangan teman-temannya. Di Bali juga Liz akhirnya menemui cintanya kembali, seorang warga Brazil yang menetap di Bali.

Saya memang skeptikal dengan buku Eat Pray Love. Kita tahu Liz dalam keadaan sukar, perkahwinanya musnah, hidupnya terasa kosong dan dia ingin mencari sesuatu bagi menenangkan dirinya, bagi membetulkan hidupnya walaupun Liz sebenarnya sudah boleh dikategorikan sebagai seorang penulis yang berjaya sebelum itu. Lalu, apa lagi yang ingin dicarinya? Dia sudah ada semuanya, bukan? Saya skeptikal bila Liz mahu mencari tuhannya. Saya skeptikal kerana saya seorang Islam dan saya tahu apa yang saya cari. Liz mencari sesuatu dan dia temui. Apa yang dicari sebenarnya adalah Tuhan. Dia lupa bahawa dia punya tuhan, maka dia tidak tahu apa tujuannya hidup. Pada babak Julia Roberts (Liz) duduk keseorangan dan cuba bercakap kepada tuhannya, dia sendiri pun mengakui yang 'dia sudah lama tidak bercakap dengan tuhan, sudah lupa atau mungkin boleh jatuh ke kategori tidak pernah'. Nah, mudah sahaja bukan - Tuhan adalah jawapan kepada segala-galanya.

Dari segi filem, EPL tidak mengecewakan walaupun babak di India sangat membosankan dan terasa kosong walaupun disitulah Liz berjaya mendapatkan tuhannya kembali. Tetapi kalau bicara soal pengisian, lebih baik saya baca buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang sedang saya uliti saat ini. Itulah sebabnya saya mengelak dari membeli EPL.

Selamat menonton

Nota:
1) Makanan Itali memang menggiurkan. Terasa mahu cari pasta, spaghetti dan pizza yang asli!
2) Babak Bali sangat indah. Cuma tidak banyak keindahan Bali juga India di paparkan, tidak seperti babak di Itali yang banyak mengambil shoot menarik
3) Rasanya perlu membaca buku ini kalau mahu mencari jawapan-jawapan yang tidak habis di bicarakan dalam filem. Filem adaptasi tidak akan mengangkat sepenuhnya isi buku, ia hanya mengambil essence, isi-isi penting yang menjadi tulang utama penceritaan. Oleh itu, jawapan terhadap bagaimana Liz menemi tuhannya menerusi meditasi (rasanya) boleh di baca dalam EPL. Namun, saya tidak mahu dan tidak ada keperluan membacanya
4) Kalau bukan kerana Julia Roberts, saya tidak rasa filem ini akan menjadi sebegni menarik. Anda marah? Ini pandangan saya :-)

Rabu, September 29, 2010

Kapal

1)
Saya membeli Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ketika Ramadhan lalu. Berada dalam susunan buku perlu baca, akhirnya tiba juga gilirannya. Benar, saya ketinggalan. Walaupun boleh dipinjam dari perpustakaan, dari teman-teman, tetapi saya lebih senang buku ini menjadi koleksi peribadi. Bagi sebuah karya agung dari penulis dan ulama besar, pasti ada banyak inti tersirat perlu saya hadam satu persatu.

2)
Di celah-celah musim rumah terbuka yang tiba di penghujung, saya bersyukur tidak terperangkap dalam stigma raya sebulan. Syukurlah, kelas tiga minggu berturut-turut pada Ahad sebaik sahaja usai cuti raya menyelamatkan diri dari menjadi penyimpan kolesterol dan lemak yang berlebihan akibat dari sesi makan-makan hujung minggu. Ada juga yang menjemput, tetapi maaflah, kelas bercampur bangsa tidak menghiraukan apa perayaan pun. Barulah satu Malaysia namanya!

Jumaat, September 24, 2010

Syurgamu Ramadan - Syurga di bulan Ramadhan

Sejak menjadi dewasa, saya menyedari diri sudah kurang memperuntukkan masa dihadapan tv. Sama ada tiada rancangan tv yang menarik di tonton atau (lebih tepat) tidak lagi meluangkan masa dengan cerita-cerita yang sudah kurang nilai murni pada karya tempatan. Berbanding ketika sekolah, waktu petang pasti sahaja terus melekat depan tv sambil membantu emak menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kuih. Siaran yang menjadi tumpuan sudah tentu drama kantonis dari Hong Kong yang sering memaparkan aksi dan plot yang menarik terutamanya berunsur penyiasatan dan konflik korporat.

Paling akhir seingat saya, menjadi pengikut siri telenovela Lo Soy Betty La Fea yang muncul ketika demam telenovela baru bercambah di tanah air. Tinggal bersama teman-teman yang kaki menonton, selepas waktu kerja tiada agenda yang menarik dapat dilakukan melainkan menjadi ketagih dengan Betty. Tambahan pula ketika itu baru sahaja selesai pengajian dua campur empat tahun, masih tercari-cari ruang kerja yang lebih baik lalu sambil menyembang petang, tv juga menjadi teman.

Selepas itu internet mula menjadi kegilaan dan saya  menjadi ketagih terhadap blog. Saban hari saya pasti melompat dari satu blog ke satu bog yang lain, membaca bagi mencari dan menilai erti sebuah kehidupan sebelum mencipta blog sendiri dan menjadi blogger yang tidaklah berapa aktif. Kalau tidak pun saya gemar membuat rujukan fakta atau rujuk silang akan bahan bacaan yang memerlukan pencerahan berterusan. Ketika itu, tv bukanlah gandingan baik saya.

Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya tidak begitu menggemari siaran tv, dan sesuatu rancangan itu hanya saya tonton setelah mendengar ulasan yang baik dari teman atau membaca ulasan di akhbar atau laman web. Selepas itu baharulah terhegeh-hegeh mengikuti siarannya, itupun kalau mahu. Nur Kasih yang di banggakan orang pada Ramadhan tahun lepas pun saya tidak mengikutinya saban minggu. Entah, terkadang ada rasa bosan bila menjadi addicted terhadap sesuatu siaran. Samalah dengan filem - bagus macam manapun ulasan di akhbar tentang filem terkini, saya akan menjadi orang terakhir di dunia menontonnya (ya, mungkin!). Bayangkan sahaja Kuch Kuch Hota Hai yang menelan airmata teman saya sebanyak lapan kali di panggung hanya saya tonton selepas dua tahun. Samalah dengan Titanic. Ketinggalan? Tidak saya rasa. Mungkin kerana gemar menongkah arus :-)

Saya menyedari Ramadhan yang baru berlalu memberi satu kelainan. Duduk rehat dengan secawan kopi sehabis terawikh sambil menanti ilham datang di hadapan komputer riba memaksa saya membuka tv, menekan punat alat kawalan jauh dan menukar siaran satu persatu. Drama bersiri Syurgamu Ramadan bagai memaksa saya menontonnya sehingga tamat episod akhr, menjadikan saya terkejar-kejar ke rumah sehabis terawikh di surau atau masjid.


Ada kelainan terhadap drama bersiri ini walaupun memaparkan tema yang klise. Adunan pelakon, skrip, lagu tema, plot, mainan kamera dan busana sangat lengkap menjadikan ia sebuah drama yang tidak klise. Plot jungkir balik, dengan karektar pelakon di kembangkan sehabis baik mengundang perasaan benci, suka, menyampah, marah, kasihan dan duka. Tidak sedikit saya rasa penonton yang tertumpah air mata melihat derita adik beradik di tinggalkan ibu bapa yang menjadi mangsa kemalangan dan dipinggirkan oleh nenek mereka yang tidak mahu mengaku cucu. Ya, tema cukup klise tetapi lakonan mereka tidak klise.


Lakon layarnya mudah. Seorang ibu yang merupakan wanita korporat berjaya berkahwin dengan lelaki tidak sedarjat, dikurnia sepasang cahaya mata dan kemudian menghalau keluar si suami selepas satu peristiwa memalukan. Si suami akhirnya meninggal dunia keseorangan. Si ibu kemudian menghalau anak perempuannya keluar rumah hanya kerana mahu berkahwin dengan pemuda bukan pilihan. Si anak berkahwin walau tanpa restu, dikurnia empat cahaya mata. Suaminya bekerja sebagai pengawal keselamatan dan dia menjual kuih bagi menampung hidup. Di takdirkan pasangan suami isteri ini meninggal dalam kemalangan jalan raya, dan adik lelakinya (Pak Su) mengambil anak-anak yang ditinggalkan duduk bersama nenek mereka di rumah yang cukup mewah. Adik lelaki ini sudah berkahwin dengan wanita pilihan ibunya yang berperangai tidak semenggah, lalu adik beradik ini saban waktu menerima herdikan dari Mak Su dan nenek yang langsung tidak menerima kehadiran mereka akibat kebencian terhadap anak kandungnya sendiri. Penamat ceritanya, si ibu (nenek) akhirnya menerima kehadiran cucu-cucnya dan menantunya berubah sikap.

Kata orang, benih yang tidak baik jika jatuh ke tangan orang yang baik maka akan menghasilkan buah yang elok. Skrip ini, saya kira jatuh pada kategori biasa tetapi di adun dengan baik oleh pengarahnya. Lakon layar Elly Suriaty mengundang benci penonton, Eira Syazira sebagai anak menampakkan kesedihan dipinggir ibu, Zarina Zainoordin membangkit rasa marah walaupun ada karekter lucu, Ungku Ismail Aziz pula biarpun jarang di lihat di kaca tv tetapi tidak menghampakan dengan watak seorang suami, anak, adik dan Pak Su. Empat orang adik beradik pula nampaknya tidak kelihatan kekok dan mampu beraksi cemerlang.

Lakon layarnya pada sesetengah tepat cukup kena. Contohnya pada babak diatas, yang saya dapati antara babak yang mendapat pujian ramai (hasil dari kajian di FB). Seharusnya inilah yang patut dilakukan oleh ibubapa bagi mengajar anak mereka yang kurang ajar, bukannya seperti dalam drama lain yang sekadar menurut kata anak sehinggakan anak memijak kepala mereka sendiri pun tidak perasan. Inilah peranan yang
patut dimainkan oleh para ibu bapa dalam 'mengajar' anak. Saya akui babak ini sangat berkesan dan mendapat pujian ramai, lihatlah sahaja komen yang terdapat di Youtube. Tahniah kepada pengarah yang menyelitkan babak ini dengan cukup hebat.

Saya akui ramai yang memuji drama bersiri Syurgamu Ramadan. Disiarkan sempena Ramadhan, saya berpendapat ia boleh di perpanjangkan sehingga menjadi sebuah telenovela yang sarat nasihat dan panduan. Biarpun penamatnya anti-klimaks dan sangat upset, setidak-tidaknya Syurgamu Ramadan telah membuka satu dimensi baru dalam drama bersiri di Malaysia, tidak terhad kepada kisah cinta dan pergolakan rumah tangga. Malah, saya memberi lebih banyak bintang kepada drama ini berbanding Nur Kasih!

Khamis, September 16, 2010

Buku - Konserto Terakhir

Ini kali kedua saya membacanya, selepas kali pertama menghadamnya kira-kira lapan tahun yang lampau. Sudah lama juga perjalanan masa, tetapi inilah antara novel yang memberi kesan emosi yang kuat kepada pembaca (saya). Lapan tahun lalu mungkin saya membaca sambil lalu kerana novel ini menjadi teks Komsas dan wajib dibaca. Saya pula mencari pengalaman sementara dengan mengajar anak-anak kampung ilmu sastera yang tidak seberapa menerusi Komsas. Tidaklah meletihkan tetapi mengajak mereka membaca bersama-sama saya itulah yang mendatangka kekecewaan. Bayangkanlah sahaja cerita bernada melankolik ini, apakah mahu dibaca oleh anak muda berlagak 'macho' di tingkatan lima? (Eleh, berlagak lebih, baca novel pun tak habis).

Memang novel ini memberi kesan emosi yang kuat dan meruntun jiwa. Berlatar belakangkan zaman 70-an, Hilmi seorang anak muda datang dari kampung mencari kerja di kota. Dia bekerja sebagai tukang kebun di rumah bapa saudaranya, Datuk Johari dan Datin Salamah yang tidak langsung dianggap sebagai darah daging kerana malu dengan status Hilmi. Sedangkan Datuk Johari datang dari kampung yang sama namun pelajarannya sahajalah yang membawanya ke darjatnya sekarang.

Keadaan ini amat menekan jiwa Hilmi. Dengan herdikan saban waktu dari Datin tanpa sekelumit ihsan dari Datuk Johari, hanya Hayati (anak Datuk dan Datin), Pak Amat (pemandu), Mak Minah (pembantu rumah) serta jirannya, Mamat (pemandu) menjadi tepat untuknya berbual-bual. Tanpa disedari Hilmi tertarik dengan Hayati yang berlatih bermain piano sehingga mendatangkan keinginannya belajar. Menerusi Mamat, Hilmi belajar dengan Encik Bakar dan keluar dari rumah Datuk Johari untuk hidup sendiri. Menerusi Encik Bakar, Hilmi menjadi tekun dan bersungguh-sungguh belajar mengasah bakatnya yang selama ini tersembunyi. Dia berkahwin dengan Azizah, anak Encik Bakar dan berterusan aktif dalam kugiran serta orkestra, mencipta lagu dan bermain piano dan biola biarpun tidak mengecap nikmat kekayaan hasil dari titik peluhnya.

Hidup bersama Azizah pun diliputi kesengsaraan, apatah lagi ingatannya tidak putus terhadap Hayati. Namun begitu Hilmi tetap juga tabahkan hati dan berterusan mencipta lagu, hinggakan ramai artis ternama ternanti-nanti hasil tangannya untuk dilagukan dan para peminat yang sering menanti lagu terbaru. Hilmi menjadi pujaan seantero negara. Dia kemudian diminta membuat satu pertunjukan khas bersama orkestra RTM dan dia menggubah sendiri lagu-lagu dan susunan muzik sendiri yang dinamakan Hilmi Potpouri. Persembahan yang dihadiri Agong, Perdana Menteri, orang kenamaan dan di siarkan secara langsung menerusi radio (tv belum ada siaran langsung ketika itu) akhirnya tidak dapat di pimpin oleh Hilmi yang tiba-tiba jatuh sakit, sebaliknya digantikan oleh Hayati yang muncul dari London khusus untuk upacara ini.

Di hospital, terbongkar rahsia bahawa Hilmi adalah anak Datuk Johari hasil perkongsian hidup satu malam dengan isterinya terdahulu dan ditinggalkan esoknya kerana tidak sanggup berkahwin paksa, dan rupa-rupnya Hayati itu adalah adiknya. Penyesalan Datuk Johari, Datin Salmah serta Azizah sudah tidak bermakna lagi apabila Hilmi pergi buat selama-lamanya.

Ya, sedih. Kalau dahulu membacanya ada timbul sebak dada dan keharuan tetapi pusingan kedua ini sudah tidak wujud perasaan itu (beginilah agaknyaperasaan jika membaca buat kali kedua, semuanya sudah dijangkakan). Novel karya SN Abdullah Hussain ini mudah sekali dihadam, ayat dan bahasanya mudah, maka amat sesuai dijadikan teks Komsas. Kalau ada yang tidak habis membacanya, memang harus menerima sumpahan seperti Datin Salmah yang menyesal teramat sangat kerana tidak sempat memohon ampun maaf diatas keterlanjurannya menghina, mencaci, mengherdik dan memarahi Hilmi hanya disebabkan darjat yang berbeza. Tidaklah sesukar mana menghayatinya.

Dan pengakhiran cerita ini nampaknya terikat dengan gaya penulisan karya zaman 50-an dan 60-an, ditamatkan dengan insiden tragik kematian hero atau heroin sehingga meninggalkan penyesalan kepada yang hidup. Pengakhiran sedih. Sama seperti filem Melayu lama yang mudah mematikan jalan cerita dengan penamat yang kejam. Lantas teringat saya kepada Noni, sebuah novel nipis juga karya SN Abdulah Hussain yang juga mempunyai penamat tragik.

Saya menimbulkan soalan ini untuk membuat kajian sendiri:
Apakah kita terlalu terpengaruh dengan filem Bollywood ketika itu yang gemar menamatkan cerita dengan penamat tragik - atau pada saya penamat mudah - tanpa ada usaha membawa penonton / pembaca ke jalan penamat lain, yang berbeza, yang tidak klise?

Buku - satu obsesi

Sebelum pulang ke rumah untuk berhari raya, saya singgah ke Gramedia di Mines, Seri Kembangan. Boleh dikatakan ini edisi terjah edisi entah keberapa. Sejujurnya, sebelum tiba Ramadhan lagi, saya mencari buku yang enak dihadam. Terasa sangat gelisah sebenarnya bila memikirkan saya ketiadaan buku yang boleh saya jiwai saat itu walhal ada banyak buku tersusun belum dibaca, terutama sekali yang saya beli di jualan gudang Dawama juga di jualan hujung minggu PTS bulan sebelumnya. Ada banyak judul menarik tetapi entah, hati tidak merasa tertarik. Ada bingung, ada resah.

Bagi mengurangkan kegelisahan, saya menuruti seorang teman yang datang bermalam dirumah kerana cuti panjang dengan tujuan membeli belah di KL. Kami ke Alamanda dan saya singgah MPH. Entah berapa kali pusing-pusing rak dari hujung ke hujung saya tidak temui penamat kegelisahan. Lalu kami keluar tanpa saya mendapat apa-apa. Namun ada sebuah buku yang mencuri tumpuan disitu.


Esoknya kami ke Jalan TAR dan saya mengajaknya ke Fajar Ilmu Baru di Jalan Masjid India di celah kesesakan orang ramai membeli belah sempena raya. Sempat menyambar empat naskhah buku - dua mahakarya Hamka (Tenggelamny aKapal Van Der Wijk dan Di Bawah Lindungan Kaabah), Larasati (Pram) dan Maria Van Engels karya Alwi Shihab yang lebih kepada eceran sejarah Indonesia. Terbit rasa lega seketika, mungkin kerana melihatkan karya agung Hamka sudah saya miliki. Namun masih ada kegelisahan yang tersisa. Saya pinggirkan sahaja perasaan itu dan mengatur buku-buku yang saya beli di meja sebelum di rekodkan. Namun begitu, saya merasa kurang berselera dengan toko Fajar Ilmu Baru. Apakah kerana bukunya, suasananya atau dek perut kosong kerana berpuasa, keletihan berjalan kaki, buku kurang citarasa atau entahlah.

Minggu seterusnya saya ke MPH Alamanda dengan tujuan membeli buku. Ya, baharu sahaja terima gaji lalu wang pertama dari gaji ini mahu saya korbankan dengan buku. Dari rak ke rak saya singgah akhirnya pulang dengan Tausug & Kesultanan Sulu yang saya belek tempohari, juga senaskah Rojak karya Amir Muhammad, sepinggan hidangan yang angat mahal :-) Amat besar keinginan saya mengkaji sejarah Melayu di Filipina sebaik membaca Delima Ranting Senja (nota: beli pada awal Ogos) dan menemui buku tentang perjuangan bangsa Moro ini saya harap dapat membantu merungkaikan beberapa persoalan dalam cepu kepala. Akan saya tuliskan tentang hal ini di kemudian hari.

Esoknya saya ke Gramedia Mines selepas menemani rakan membeli keperluan raya untuk anaknya di jalan TAR (lagi). Saya ibaratkan ini satu tugas ihsan mengekorinya sambil memerhati pembeli yang bersesak-sesak. Ini satu terapi kiranya, memandangkan kadar kerunsingan dan kegelisahan saya masih belum reda. Mujur Mines hujung minggu kurang pengunjung, atau mungkin saiznya besar maka tidak nampak ia di hujani pembeli. Melangkah ke Gramedia saya mengambil masa berlama-lamaan, merenung sisi buku, menyentuh dan menyelak lalu duduk di lantainya sambil membaca beberapa helaian yang menarik. Satu persatu sehingga letih. Ada potongan harga pada buku tertentu tetapi tidak saya endahkan. Banyak pula buku yang menjadi keinginan, terutamanya berkenaan sejarah Aceh, Bali dan Indo-China serta hasil kajian terhadap Abdullah Munsyi. Buku ini menjadi senarai wishlist, nafsu saya mendapatkan buku ini membuak-buak dan saya simpan sahaja kehendak itu.

Memandangkan Zuhur sudah di penghujung, maka saya segera sahaja mencapai tiga naskhah buku - Ketika Cinta Bertasbih 1, Bumi Manusia (Pram) dan sebuah buku masakan barat oleh Cef tempatan (ehem!). Saya sedia mengeluarkan dua not lima puluh bila angka di mesin kira menunjukkan harga kurang lima puluh. Saya lihat betul-betul angkanya, resit yang diserahkan, baki wang dan jumlah buku. Melihatnya berkali-kali. Berkali-kali.

"Ada potongan harga?" tanya saya kehairanan.

"Ya, lima puluh peratus untuk buku Indonesia," jawab si jurujual dengan penuh yakin.

Tidak tahu apa yang harus saya ucapkan, mata yang hampir layu seolah tersimbah air. Terasa seperti mahu melompat-lompat bila mendapat tahu ada potongan sebegitu banyak. Saya keluar dalam keadaan percaya atau tidak. Selepas tiga empat langkah melepasi pintu Gramedia, saya patah balik ke dalam dan mencapai Ketika Cinta Bertasbih 2. Mana boleh dibiarkan peluang ini tamat.

Ok, saya sudah temui apa yang saya cari. Rupanya saya sudah berapa bulan menahan kehendak berbelanja sakan terhadap buku. Paling tidakpun ketika jualan gudang Dawama, belian saya mencecah ratusan ringgit juga tetapi itu terhadap buku langka yang dijual murah. Sengaja saya jadikan ia koleksi, disimpan, diatur pada rak kerana pasti DBP tidak akan terbitkan buku seumpama itu lagi. Jualan seumpama itu sekadar mengosongkan gudang untuk buku terbitan baharu. Ya, begitulah nasib pemulis.

Maka atas kegelisahan itu, saya sudah merangka satu serbuan khas ke Gramedia. Melihat baki akaun,  mengira peruntukan raya, tanggungan bulanan serta kesesuaian masa, saya terjah ke Gramedia dua hari sebelum Ramadhan berakhir. Rancangan saya nampak bagus, kerana dari Mines terus menggunakan lebuhraya melalui Sungai Long dan terus masuk LEKAS. Satu persatu buku saya angkut dari rak, si jurujual bagai tak percaya saya membeli sebanyak itu. Lima enam kali berulang alik ke kaunter dan saya kira mereka pasti fikir - mahu beli atau mahu lihat sahaja? Habislah kita, kena susun semula buku yang diambilnya selepas ini bila melihat mereka saling pandang memandang natara satu sama lain.


Kebingungan dan keresahan saya akhirnya berakhir. Dua puluh lapan naskhah buku pada harga dua ratus tujuh puluh dua, ah siapa mahu beri harga secantik ini pada harga diskaun lima puluh peratus. 50%. Sepanjang perjalanan pulang ke kampung meredah hujan lebat, saya tersenyum simpul memikirkan buku yang tersusun di bonet belakang. Memang tahun ini saya raya dengan buku, peruntukan duit raya untuk adik pun menyusut. (Oh, tinggal dua orang sahaja, bukan sengaja saya susutkan). Bila ditanya bila saya mahu baca buku-buku yang dibeli, jawapan saya sinis.

"Buku bukannya basi, tahun depan pun boleh baca...."

Rupanya kebingungan dan keresahan saya sepanjang Ramadhan di jawab dengan membeli buku. Kepuasan sebenarnya ialah apabila memiliki buku bagi memenuhi ruang kosong pada rak. Dan saya tahu buku tersebut akan saya gunakan nanti sebagai kajian. Kalau bukan tahun ini, pastinya tahun depan :-)


Nota: Saya tidak sangka sama sekali membeli (terlalu) banyak buku. Rak, rak, rak.....

Isnin, September 13, 2010

Cebisan Ramadhan 1431H

Penghujung Ramadhan, berita kehilangan jutawan kosmetik terkenal menjadi santapan utama akhbar. Mungkin ramai menganggap itu kisah kehilangan biasa, kisah orang kaya yang tiba-tiba hilang. Esok lusa bila akhbar melaporkan penemuan kereta, diikuti pembongkaran satu demi satu penemuan oleh polis menyebabkan kehilangan ini semakin sensai. Dan 1 Syawal kita di hidangkan kisah menyayat hati - beliau di bunuh. Hari berikutnya sekadar mengundang tanya tanya - dimana, kemana, bagaimana, siapa. 

Apabila polis mengesahkan mereka di pukul, di bunuh, di bakar lalu di buang maka spekulasinya semakin menjadi-jadi. Akhbar semakin ghairah mengejar berita, siaran berita di tv yang hidup segan mati tak mahu dengan kisah bapak menteri buat rumah terbuka pun tenggelam dengan perasaan teruja menanti kehadiran berita baru. Kunjungan tika hari raya pun tidak lekang dengan isu ini. Saya memasang telinga. Pelbagai andaian, spekulasi, cakap-cakap selain yang dipaparkan didada akhbar keluar ditambah dengan ulasan pihak yang tidak bertauliah.

Ya, lucu  pun ada.

Mendengar perbualan yang pelbagai ketika raya, saya teringin mencoretkan beberapa kesimpulan mereka disini. Kata mereka :


  1. Jadi miskin susah, jadi kaya pun susah (dialog orang kurang berkemampuan)


  2. Belajar tinggi, berpangkat, kerja bagus pun buat jenayah (dialog orang berpelajaran)


  3. Betul cikgu kata dulu jadi peguam ni sebelah kaki dalam neraka (dialog orang tak jadi peguam) 


  4. Mujur aku ni tak pandai belajar, kalau tidak mesti jadi peguam, dapat Dato' dan buat jenayah (dialog orang tidak berpelajaran)


  5. Takutlah nak jadi kaya, nanti mati kena bunuh, anak kena culik, harta kena rampas, dudk diam tak senang orang nak duit kita sahaja (dialog orang malas berusaha)

Ramai orang membuat spekulasi, komen, ulasan dan sebagainya. Berapa orang daripada kita mendoakan kesejahteraan rohnya?

0002 Catatan India-Kashmir | Menghitung Hari

Januari tahun lalu, sudah masuk fasa berdebar-debar memandangkan tarikh untuk ke India-Kashmir semakin hampir. Mengatur kerja, menyusun buk...